Juni 15, 2009

Penglipuran (Penghibur)


Foto: alambudaya.blogspot

ORANG mengenal Bali sebagai pulau yang eksotis dengan keindahan alam dan seni budaya yang luar biasa. Tak heran jika banyak keunikan yang kita temukan di pulau sejuta pura ini sudah terkenal di seluruh penjuru dunia.

Selama ini orang mengenal Bali karena wisata pantai dan lautnya, tapi kenyataannya ada satu tempat yang tetap melestarikan budaya Bali secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang. Banyak hal yang dapat kita pelajari yang sarat dengan nilai-nilai tradisional ini. Bangli merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki wisata pantai.

Namun, sejumlah objek wisata yang tak kalah bagusnya ada di tempat ini. Salah satunya Desa Tradisional Penglipuran yang terletak di Jalan Raya Bangli-Kintamani, Bangli, atau 45 kilometer dari Kota Denpasar.

Penglipuran memiliki dua pengertian yaitu pangeling yang kata dasarnya eling artinya 'mengingat'. Sementara, pura artinya 'tanah leluhur'. Jadi penglipuran artinya 'mengingat tanah leluhur'. Atau dapat juga diartikan kata penglipur sebagai penghibur.


Luas Desa Adat Penglipuran mencapai 112 hektare, terdiri atas 37 hektare hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat setempat untuk kerajinan tangan dengan sistem tebang pilih, ladang seluas 49 hektare, dan untuk perumahan penduduk seluas 12 hektare.

Desa ini sangat bersih dan udaranya sangat sejuk. Topografi desa melereng dari utara ke selatan. Penataan taman dan saluran air yang bersih membuat desa ini tak pernah dilanda banjir. Jalan utama desa tak menggunakan aspal melainkan dari batu-batuan gunung yang dimodifikasi dengan paving atau batu conblock.

Desa yang tersusun rapi sedemikian rupa sehingga dua bagian kaveling memiliki bentuk bagian depan yang sama yang terbuat dari bahan tanah untuk tembok dan bagian atap menggunakan bambu. Cukup betah rasanya untuk tinggal berlama-lama di tempat ini.

Keunikan lain yang dimiliki desa ini adalah setiap kaveling memiliki luas sama antara 8 sampai 11 are. Luas tanah ini merupakan warisan leluhur yang terbagi bagian timur dan barat masing-masing 38 kaveling. Kehidupan masyarakat juga heterogen, ada yang bekerja sebagai petani, pegawai, buruh, maupun perajin.

Tata ruang desa tak kalah menarik yang secara makro terbagi menjadi tiga bagian yang disebut dengan tri mandala. Dalam konsep tata ruang agama Hindu, maknanya adalah tiga bagian atau tiga ruang yang memiliki tiga fungsi atau kesucian yang berbeda.

Dari kondisi fisik orientasinya adalah utara selatan (dalam bahasa Bali berarti Kaja Klod) atau lebih sederhana lagi tinggi rendah (ulu teben). Dari konsep itulah, maka di paling utara desa yaitu sebuah tempat suci yaitu Pura Bale Agung (Penataran) yang merupakan konsep utama mandala yang terletak di sebelah utara sebagai kiblat umat Hindu. Kemudian konsep mandala yang kedua dinamakan madya mandala.

Di tempat ini merupakan wilayah permukiman penduduk terbagi menjadi dua jejer yaitu barat dan timur. Sedangkan bagian ketiga adalah nista mandala tempatnya bagian paling rendah yaitu lokasi yang dipakai untuk kuburan atau orang Bali menyebutnya sebagai setra. Tata ruang seperti ini ternyata juga diterapkan dalam setiap rumah masyarakat desa setempat.

Setiap kaveling rumah penduduk, konsepnya setiap rumah dibangun angkul-angkul atau pintu gerbang merupakan ciri pintu masuk sekaligus dianggap sebagai bangunan penjaga pintu rumah depan.

Saat hari suci, dilakukan sesajen di tempat ini. Tak heran jika bangunan seluruh masyarakat di desa ini sama, yaitu bagian depan merupakan sanggah atau mrajan sebagai utama mandala yang digunakan anggota keluarga untuk bersembahyang. Kemudian seluruh rumah menghadap ke timur sebagai tempat matahari terbit.

Di setiap bangunan rumah terdapat ruang kosong yang dinamakan halaman (natah) sebagai tempat berkumpul anggota terletak di bagian tengah (madya). Sementara bagian nista mandala biasanya diisi dengan toilet, tempat jemuran, atau sarana atau kegiatan ekonomi seperti warung, kandang ternak, dan sebagainya.

"Setiap umat Hindu yang memiliki rumah berarsitektur Bali biasanya mengikuti tata ruang seperti ini. Karena setiap ruang ada dewa yang bersemayam," ucap Kelian Adat Desa Penglipuran,Wayan Supat.

Untuk menjaga warisan leluhur secara turun-temurun ini, Supat berharap warisan ini akan tetap terus dijalankan hingga anak cucu kelak.

"Kita sebagai generasi tua mengarahkan generasi muda dan seterusnya akan seperti ini. Selama konsep pelestarian sepanjang tradisi masih relevan dalam periode kehidupan manusia,"sebutnya.

Dalam ajaran Hindu telah memiliki konsep pelestarian menggunakan konsep desa kalapatra. Kala artinya waktu, sementara patra berarti keadaan. Jadi kalapatra adalah keadaan akan berubah di mana tempatnya dan kapan waktunya. Tak heran banyak wisatawan yang tertarik untuk datang ke desa tradisional yang sejak tahun 1993 mulai dipromosikan pemerintah daerah sebagai salah satu tujuan wisata.

Sayangnya, desa ini tidak menyediakan tempat penginapan atau home stay untuk menampung para wisatawan untuk bertinggal lebih lama di desa yang sejuk dan sehat ini. Keunikan lainnya,Anda tidak akan menemukan tempat sampah di jalan utama Desa Adat Penglipuran ini.

Hal ini karena adanya aturan (awig-awig) kepada setiap warga untuk menyapu dua kali dalam sehari setiap pagi dan sore hari. Kewajiban lain yang harus dipatuhi warga adalah memotong rumput yang ada di taman jalan dua kali sebulan. Kalau hal itu tak dipatuhi, denda Rp10.000 akan diberlakukan.

Meskipun dendanya terbilang tidak terlalu besar, sejauh ini belum ada warga yang melanggar dan lebih taat pada aturan tersebut. Hal ini dikarenakan masyarakat ditanamkan budaya malu jika tidak menaati aturan tersebut dan pantas untuk dijadikan sebagai percontohan daerah tujuan pariwisata sehat.

Bagi wisatawan yang datang, pemerintah daerah setempat memungut tiket masuk dengan harga yang sangat murah dan terjangkau. Untuk dewasa cukup membayar Rp2.500, sementara untuk anakanak Rp1.500.Sebagian besar yang datang adalah wisatawan asing yang penasaran dengan kesejukan dan teraturnya kehidupan masyarakat Desa Adat Penglipuran.
Artikel :Okezone.com